Sabtu, 03 Mei 2014

Filsafat Logika

http://4.bp.blogspot.com/-IKucxE8S7N4/UCKgeAvKu5I/AAAAAAAAAhI/fZnHUJ-ZoeI/s320/logica.jpg

Logika dalam filsafat adalah alat atau dasar yang penggunaannya akan menjaga kesalahan dalam berfikir. Lebih jelasnya, Logika adalah sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berfikir, sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari cara berfikir salah. Manusia sebagai makhluk yang berfikir tidak akan lepas dari berfikir. Namun, saatberfikir, manusia seringkali dipengaruhi oleh berbagai tendensi, emosi, subyektifitas dan lainnya sehingga ia tidak dapat berfikir jernih, logis dan obyektif. Logika merupakan upaya agar seseorang dapat berfikir dengan cara yang benar, tidak keliru. Sebelum kita pelajari masalah-masalah logika, ada baiknya kita mengetahui apa yang dimaksud dengan berfikir. “ Berfikir adalah proses pengungkapan sesuatu yang misterius, majhul atau belum diketahui dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam benak kita (dzihn) sehingga yang majhul itu menjadi ma’lum (diketahui).
Faktor-faktor Kesalahan berfikir.
a.   Hal-hal yang dijadikan dasar (premis) tidak benar.
b.   Susunan atau form yang menyusun premis tidak sesuai dengan kaidah logika yang benar.
Argumentasi (proses berfikir) dalam alam pikiran manusia bagaikan sebuah bangunan. Suatu bangunan akan terbentuk sempurna jika tersususn dari bahan-bahan dan konstruksi bangunan yang sesuai dengan teori-teori yang benar. Apabila salah satu dari dua unsuritu tidak terpenuhi, maka bangunan tersebut tidak akan terbentuk dengan baik dan sempurna. Sebagai missal, “[1] Socrates adalah manusia; dan [2] setiap manusia bertindak zalim; maka [3] Socrates bertindak zalim”. Argumentasi semacam ini benar dari segi susunan formnya. Tetapi, salah satu premisnya salah yaitu premis yang berbunyi, “Setiap manusia bertindak zalim”, maka konklusinya tidak tepat. Atau misal, “[1] Socrates adalah manusia; dan [2] Socrates adalah seorang ilmuwan”, maka “[3] manusia adalah ilmuwan”. Dua premis ini benar tetapi susunan formulanya tidak benar, maka konklusinya tidak benar. (Dalam pembahasan qiyas nanti akan dijelaskan susunan argumentasi yang benar).
Ilmu Pengetahuan.
Para ahli filsafat mendefinisikan ilmu sebagai berikut: Ilmu pengetahuan adalah gambaran tentang sesuatu yang ada dalam benak (akal). Benak atau pikiran kita tidak lepas dari dua kondisi yang kontradiktif, yaitu ilmu dan jahil (ketidak tahuan). Pada saat keluar rumah, kita menyaksikan sebuah bangunan yang megah dan indah, dan pada saat yang sama pula tertanam dalam benak kita gambaran bangunan itu. Kondisi ini disebut jahil. Pada kondisi ilmu, benak atau akal kita kadang hanya :
1)    Menghimpun gambaran dari sesuatu saja (bangunan, dalam misal). Terkadang kita    hanya menghimpun tetapi juga.
2)    Memberikan penilaian atau hukum (juggement), (misalnya, bangunan itu indah dan megah).
Aksiomatis dan Nadzari.
Pembahasan tentang kulli (general) dan ju’i (parsial) secara asensial sangat erat kaitannya dengan tashawwur dan juga aksidental berkaitan berkaitan dengan tashdiq. Kulli adalah tashawwur (gambaran benak) yang dapat diterapkan (berlaku) pada beberapa benda diluar. Misalnya; gambaran tentang manusia dapat diterapkan (berlaku) pada banyak orang; Budi, Novel, Ahamad dan lainnya. Juz’I adalah tashawur yang dapat diterapkan (berlaku) hanya pada satu benda saja. Misalnya; gambaran tentang Budi hanya untuk seseorang yang bernama budi saja. Manusia dalam berkominikasi tentang kehidupan kehidupan sehari-hari menggunakan tashawwur-tashawwur yang juz’i. Misalnya; Saya kemarin ke Jakarta; Adik saya sudah mulai masuk sekolah; Bapak saya sudah pensiun dan sebagainya. Namun, yang dipakai oleh manusia manusia dalam kajian-kajian keilmuan adalah tashawwur-tashawwur kuli, yang sifatnya universal. Seperti, 2 X 2 = 4; Orang yang beriman adalah orang yang bertanggung jawab atas segala perbuaatan; Setiap akibat pasti mempunyai sebab dan lain sebagainya. Dalam ilmu mantig kita akan sering menggunakan kulli (gambaran-gambaran yang universal), dan jarang bersangkutan dengan juz’i.

Nisab Arba’ah.
Dalam benak kita terdapat banyak tashawwur yang bersifat kulli dan setiap yang kulli mempunyai realita (afrad) lebih dari satu. (Lihat definisi kulli). Kemudian antara tashawwur kulli yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan (relasi). Ahli mantiq menyebut bentuk hubungan ini sebagai “Nisab Arba’ah”. Mereka menyebutkan bahwa ada empat kategori relasi:
1.    Tabayun (diferensi)
2.    Tasawi (ekuivalen)
3.    Umum wa khusus Mutlag (implikasi) dan
4.    Umum wa khusus Minwajhin (assosiasi).
Tabayun adalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya tidak bisa diterapkan pada seluruh afrad tashawwur kulli yang lain. Dengan kata lain, afrad kulli yang satu tidak mungkin sama dan bersatu dengan afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawur batu. Kedua tashawwur ini sangatlah berbeda dengan afradnya tidak mungkin sama. Setiap manusia pasti bukan batu dan setiap batu bukan manusia. Tasawi adalah dua tashawwur kulli yang keduanya bisa diterapkan pada afarad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur berfikir. Artinya setiap manusia dapat berfikirdan setiap yang berfikir adalah manusia.  Umum wa khusus mutlak adalah tashaswwur kulli yang satu dapat diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain dan tidak sebaliknya. Missal: tashawwur manusia dan tashawwur hewan. Setiap manusia adalah hewan dan tidak setiap hewan adalah manusia. Afrad tashawwur hewan lebih umum dan lebih luas sehngga mencakup semua afrad tashawwur manusia. Umum wa khusus min wajhin adalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya dapat diterapkan pada afrad kulli yang laindan sebagian lagi tidak dapat diterapkan. Missal: tashawwur manusia dan tashawwur putih. Kedua tashawwur ini bersatu pada seorang manusia yang putih, tetapi kadang-kadang keduanya berpisah seperti pada orang yang hitam dan pada kapur tulis yang putih.
Hudud dan Ta’rifat
Kita sepakat bahwa masih banyak hal yang belum kita ketahui (majhul). Dan sesuai dengan fitrah kita selalu ingin mengetahui hal-hala yang masih majhul. Pertemuan lalu telah dibahas bahwa manusia mempunyai ilmu dan pengetahuan, baik tashawwuri  ataupun tashdiqi. Majhul (jahil) sebagai anonim dari dari ma’lûm (ilmu) , juga terbagi menjadi dua majhul tashawwuri dan majhul tashdiqi. Untuk mengetahui hal-hal majhul tashawwuri kita perlu mengetahui kita membutuhkan ma’lûm tashawwuri. (lihat definisi berpikir. Pencarian majhul tashawwur dinamakan “ha” atau ta’rif. Had ta’rif adalah sebuah jawaban dan keterangan yang didahului pertanyaan “Apa?”. Saat enghadapisesuatu yang belum kita ketahui( (majhul), kita akan segera bertanya “Apa itu?”. Artinya, kta bertanya tentang esensi dan ahkikat sesuatu itu. Jawaban dan keterangan yang diberikan adalah had (definisi) dari sesuatu itu. Oleh karena itu, dalam disiplin ilmu, mendefinisikan sesuatu materi yang akan dibahas penting sekali sebelum membahas lebih lanjut masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Perdebatan tentang sesuatu materi akan menjadi sia-sia kalau definisisnya belum jelas dan disepakati. Ilmu mantiq bertugas menunjukkan cara membuat had atau definisi yang benar.
Macam-Macam Definisi (Ta’rif)
Setiap definisi bergantung pada kulli yang digunakan. Ada lima klli yang digunakan untuk mendefinisikan majhul tashawwuri (biasa disebut “kuliyat khamsah”). Lima kulli itu adalah:
1.    Nau (spesies)
2.    jins (genus)
3.    Fashl (diferentia)
4.    ‘Aradh’aam (common accidens)
5.    ‘Aradh khas (proper accidens)
Pembahasan tentang khuliyat khamsah ini secara detail termasuk pembahasan filsafat, bukan pembahasan mantiq. Had tâm, adalah definisi yang menggunakan jins dan fashl untuk menjelaskan untuk menjelaskan bagian-bagian dari esensi majhul. Misal: apakah manusia itu? Jawabannya dala “hewan yang berpikir (natiq)”. “Hewan” adalah jins manusia dan “Berpikir” adalah fashl manusia. Keduanya dalah bagian dari esensi manusia. Had Nâqish, adalah definisi yang menggunakan ‘ardham’âm, misalnya, “Manusia adalah wujud yang berjalan”, “tegak lurus”, dan “tertawa” bukan bagian esesnsi dari manusia, tetapi hanya bagian dari eksiden. Rasam Nâqish, adalah definisi yang menggunakan ‘ardh’âm, misalnya, “Manusia adalah wujud yang berjalan”.
Preposisi
Sebagaimana yang telah kita ketahui, tashdiq adalah penilaian dan penghukuman atas sesuatu dengan sesuatu yang lain (seperti: gunung itu indah; manusia itu bukan kera dan lain sebagainya). Atas dasar itu, tashdiq berkaitan dengan dua hal: maudhu’ dan mahmul (“gunung” sebagai maudhu’ dan “indah” sebagai mahmul. Gabungan dari sesuatu itu disebut qadhiyyah (preposisi).
Macam-macam Preposisi
Setiap qadhiyyah terdiri dari tiga unsure: 1) mawdhu’, 2) mahmul, dan 3) rabithah (hubungan antara mawdhu’ dan mahmul). Berdasarkan masing-masing unsure itu, qadhiyyah dibagi menjadi beberapa bagian.
Berdasarkan rabithah-nya, qadhiyyah dibagi menjadi dua: hamliyyah (preposisi kategoris) dan syarthiyyah (preposisi hipotesis).
Qodhiyah hamliyyah
Adalah qadhiyyah yang terdiri dari maudhu’,mahmul, dan rabithah. Lebih jelasnya, ketika kita membayangkan sesuatu, lalu kita menilai atau menetyapkan atasnya sesuatu yang lain, maka sesuatu yang pertama disebut mawdhu’ dan sesuatu yang kedua dinamakan mahmul dan yang menyatukan antara keduanya adalah rabithah. Misalnya, “Gunung itu indah”. “Gunung” adalah mawdhu’, “Indah”, adalah mahmul dan “itu” adalah rabithah (Qadhiyyah hamliyyah, proposisi katagorik). Terkadang kita menafikan mahmul dari mawdhu’. Misalnya, “Gunung itu indah”. Yang pertama disebut qadhiyyah hamliyyah mujabah (afirmatif) dan yang kedua disebut qadiyyah hamiliyyah salibah (negative).
Qadhiyyah syarthiyyah .
Terbentuknya dari dua qadhiyyah yang dihubungkan dengan huruf syarat seperti, “jika” dan “setiap kali”. Contoh : jika Tuhan itu banyak, maka bumi akan hancur. “Tuhan itu banyak” adalah qadhiyyahhamliyah; demilian pula “bumi akan hancur” sebuah qadhiyyah hamilah. Kemudian keduanya dihubungkan dengan kata “jika”. Qadhiyyah yang pertama (dalam contoh, Tuhan itu banyak) disebut muqaddam dan qadhiyyah yang kedua (dalam contoh, bumi akan hancur) disebut tali. Qadhiyyah syarthiyyah dibagi menjadi dua: muttasilah dan munfasilah. Qadhiyyah syarthiyyah yang menggabungkan antara dua qadhiyyah seperti contoh diatas disebut muttasilah, yang dimaksud bahwa adanya “keseiringan” dan “kebersamaan” antara dua qadhiyyah. Tetapi qadhiyyah syarthiyyah yang menunjukkan adanya perbedaan dan keterpisahan antara dua qadhiyyah disebut munfasilah, seperti, Bila angka itu genap, maka ia bukan ganjil. Antara angka genap dan angka ganjil tidak mungkin ngumpul.
Qadhiyyah Mahshurah dan Muhmalah.
Pembagian qadhiyyah berdasarkan mawdhu’-nya dibagi menjadi dua: mahshurah dan muhmalah. Mahshurah adalah qadhiyyah yang afrad (realita) mawdhu’-nya ditentukan jumlahnya (kuantitasnya) dengan menggunakan kata “semua” dan “setiap “atau “sebagian” dan “tidak semua”. Contohnyasemua manusia akan mati atau sebagian manusia  pintar. Sedangkan dalam muhmalah jumlah afrad mawdhu’-nya tidak ditentukan. Contohnya manusia akan mati, atau manusia itu pintar. Dalam ilmu mantiq, filsafat eksakta dan ilmu pengetahuan lainnya, qadhiyyah yang dipakai adalah qadhiyyah mahshurah. Qadhiyyah mahshurah terkadang kulliyah (proposisi determinative general) dan terrkadang juz’iyyah (proposisis determinative particular) dan qadhiyyah sendiri ada yang mujabah (afirmatif) dan ada yang salibah (negative). Maka qadhiyyah mahshurah mempunyai empat macam:
Mujabah kulliyyah: Setiap manusia adalah hewan.
Salibah kulliyah: Tidak satupun manusia yang berupa batu.
Mujabah juz’iyyah : Sebagian manusia pintar.
Salibah juz’iyyah : Sebagian manusia bukan laki-laki.
Sebenarnya masih banyak lagi pembagian qadhiyyah baik berdasarkan mahmul-nya (qadhiyyah muhassalah dan mu’addlah), atau jihat qadhiyyah ((dharuriyyah, daimah dan mumkinah) dan qadhiyyahu syarthiyyah muttasilah (haqiqiyyah, maani’atul jama’ dan maani’atul khulw). Namun qadhiyyah yang paling banyak dibahas dalam ilmu filsafat, mantiq dan lainnya adalah qadhiyyah mahshurah.
Hukum-hukum Qadhiyyah.
Setelah kita ketahui definisi dan pembagian qadhiyyah, maka pembahasan berikutnya adalah hubungan antara masing-masing dari empat qadhiyyah mahshurah. Pada pembahasan terdahulu telah kita ketahui bahwa terdapat empat macam hubungan antara empat empat tashawwuri kulli:
1.    Tabayun.
2.    Tasawi
3.    Umum wa khusus mutlak
4.    Umum wa khusus min wajhin.
Demikian pula terdapat macam hubungan antara masing-masing empat qadhiyyah mahshurah:
1.    Tanaqudh.
2.    Tadhadd.
3.    Dukhul tahta tadhadd.
4.    Tadakhul.
Tanaqudh (mutanaqidhain/kontradiktif).
Adalah dua qadhiyyah yang mawdhu’ dan mahmulnya sama, tetapi kuantitas (kam) dan kualitasnya (kaif) berbeda, yakni yang satu kulliyah mujabah dan yang lainnya juz’iyah salibah. Misalnya, “Semua manusia hewan” (Kulliyyah mujabah) dengan “Sebagian manusia bukan hewan”(juz’iyyah salibah). Thadad (kontrariatif) adalah dua qadhiyyah yang sama kuantitasnya (keduanya kulliyyah), tetapi yang satu mujabah dan yang lain salibah.
Misalnya, “Semua manusia dapat berfikir” (kulliyyah mujabah) dengan “Tidak satupun dari manusia dapat berfikir” (kulliyah salibah). Dukhul tahta tadhad (dakhilatain tahta tadhad[interferensif sub-kontrariatif]) adalah dua qadhiyyah yang sama kuantitasnya (keduanya juz’iyyah), tetapi yang satu mujabah dan lainnya salibah.
Misalnya, “Sebagian manusia pintar” (juz’iyyah mujabah) dengan “Sebagian manusia tidak pintar” (juz’iyyah salibah). Tadakhul (mutadakhilatain /interferensif) adalah dua qadhiyyah yang sama kualitasnya tetapi kuantitasnya berbeda. Misalnya , “Semua manusia akan mati” (kulliyyah mujabah) dengan “Sebagian manusia akan mati”(juz’iyyah mujabah) atau “Tidak satupun manusia akan kekal”(kulliyyah salibah) dengan “Sebagian manusia tidak kekal” (juz’iyyah salibah). Dua qadhiyyah ini disebut pula.
Hukum dua qadhiyyah mutanaqidhain (kontradiktif) jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar maka yang lainnya pasti salah. Demikian pula jika yang satu salah, maka yang lainnya benar. Artinya tidak mungkin (mustahil) kedua-duanya benar ataui salah. Dua qadhiyyah biasa dikenal dengan ijtima’ al naqidhain mustahil (kombinasi kontradiktif). Hukum dua qadhiyyah mutadhaddain (kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lain pasti salah. Tetapi, jika salah satu salah, maka yang lain belum tentu benar. Artinya keduanya tidak mungkin benar, tetapi keduanya mungkin salah.
Hukum dua qadhiyyah dakhalatain tahta tadhad (interferensif sub-kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu salah, maka yang lain pasti benar. Tetapi jika yang satu benar, maka yang lain belum tentu salah. Dengan kata lain, dua qadhiyyah itu tidak mungkin salah, tetapi mungkin saja keduanya benar.
Hukum dua qadhiyyah mutadakhilatain (interferensif), berbeda dengan masalah tashawwuri. (Lihat pembahasan tentang nisab arba’ah), Bahwa tashawwur kulli (misalnya, manusia) lebih umum daritashawwur juz’I (missal, Ali). Disini, qadhiyyah kulliyyah lebih khusus dari qadhiyyah juz’iyyah. Artinya, jika qadhiyyah kulliyyah benar, maka qadhiyyah juz’iyyzh pasti benar. Tetapi, jika qadhiyyah juz’iyyah benar, maka qadhiyyah kulliyyah belum tentu benar. Misalnya, jika setiap “A” adalah “B” (qadhiyyah kulliyah), maka pasti “sebagaian A adalah B”. Tetapi, jika “Sebagian A adalah B”, maka belum pasti “Setiap A adalah B”.
Tanaqudh.
Salah satu hukum qadhiyyah yang menjadi dasar semua pembahasan mantiq dan filsafat adalah hukum tanaqudh (hukum kontradiksi). Para ahli mantiq dan filsafat menyebutkan bahwa selain mawdhu’ dan mahmul dua qadhiyyah mutanaqidhain itu harus sama, juga ada beberapa kesamaan dalam kedua qadhiyyah tersebut. Kesamaan itu terletak pada:
1.    Kesamaan tempat (makam)
2.    Kesamaan waktu (zaman)
3.    Kesamaan kondisi (syart)
4.    Kesamaan korelasi(idhafah)
5.    Kesamaan pada sebagian atau keseluruhan (juz dan kull).
6.    Kesamaan dalam potensi dan actual (bil quwwah dan bil fi’li)

Qiyas (Silogisme).
Pembahasan tentang qadhiyyah sebenarnya pendahuluan dari masalah qiyas, sebagaimana pembahasan tentang tashawwur sebagai pendahuluan dari hudud atau ta’rifat. Dan sebenarnya inti pembahasan mantiq adalah hudud dan qiyas.
Qiyas adalah kumpulan dari beberapa qadhiyyah yang berkaitan yang jika benar, maka dengan sendirinya (li dzatihi) akan menghasilkan qadhiyyah yang lainnya (baru). Sebelum kita lebih lanjut membahas tentang qiyas, ada baiknya kita secara sekilas beberapa macam hujjah(argumentasi). Manusia disaat ingin mengetahuib hal-hal yang majhul, maka terdapat tiga cara untuk mengetahuinya.
Pengetahuan dari juz’I ke juz’I yang lainnya. Argumentasi ini sifatnya horizontal, dari sebuah titik yang parsial ke titik yang parsial lainnya  Argumentasi ini disebut tamtsil (analogi). Pengetahuan dari juz’i ke kulli atau dengan kata lain, dari khusus ke umum (mengeneralisasi yang parsial). Argumentasi ini bersifat vertical, dan disebut astiqra’ (induksi). Pengetahuan dari kulli ke juz’I, atau dengan kata lain, dari umum kekhusus. Argumentasi ini disebut qioyas (silogisme)
Macam-Macam Qiyas.
Qiyas dibagi menjadi dua, iqtirani (silogisme kategoris) dan istitsna’I (silogisme hipotesis). Sesuai dengan definisi qiyas diatas, satu qadhiyyah atau beberapa qadhiyyah yang tidak dikaitkan antara satu dengan yang lain tidak akn menghasilkan qadhiyyah baru. Jadi untuk memberikan hasil (konklusi) diperlukan beberapa qadhiyyah yang saling berkaitan. Dan itulah yang namanya qiyas.
1.  Qiyas Iqtirani.
Qiyas Iqtirani adalah qiyas yang mawdhu’ sdan mahmul natijahnya berada secara terpisah pada dua muqaddimah. Contoh : “Kunci itu besi” dan “Setiap besi akan memuai jika dipanaskan”, maka kunci itu akan memuai jika dipanaskan”. Qiyas ini terdiri dari tiga qadhiyyah, [1]. Kunci itu besi, [2]. Setiap besi akan memuai jika dipanaskan, [3]. Kunci itu akan memuai jika dipanaskan.
Qadhiyyah pertama disebut muqqadimah shugra (premis minor), qadhiyyah kedua disebut muqaddimah kubro (premis mayor) dan yang ketiga adalah natijah (konklusi).
Natijah merupakan gabungan dari nawdhu’ dan mahmul yang sudah tercantum 0pada dua muqaddimmah, yakni, “Kunci” (mawdhu’) dan “akan memuai jika dipanaskan” (mahmul). Sedangkan “Besi” sebagai had awshat. Yang paling berperan dalam qiyas adalah penghubung antara mawdhu’ muqaddimah shugra dengan mahmul muqaddimah kubro. Penghubung itu disebut had awsath harus berada pada kedua muqaddimah (shugra dan kubra) tetapi tidak tercantum dalam natijah. (lihat contoh,pen).

Empat bentuk qiyas Iqtirani.
Qiyas Iqtirani kalau dilihat dari letak kedudukan had awsath-nya pada muqaddimah shugra dan qubra mempunyai empat bentuk:
1)    Syakl Awwal, adalah Qiyas yang had awsath-nya menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdu’ pada muqaddimah kubra. Misalnya, “Setiap Nabi itu Makshum”, dan “Setiap orang makshum adalah teladan yang baik”, maka “Setiap nabi adalah teladan yang baik”. “Makshum” adalah had awsath, yang menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu’ pada muqaddimah kubra. Syarat-syarat syakl awwal.
Syakl awwal akan menghasilkan natijah yang badihi (jelas dan pasti) jika memenuhi dua syarat berikut ini: “Muqaddimah shugra harus mujabah, Muqaddimah kubra harus kulliyah.
2)    Syakl kedua, adalah Qiyas yang had awsath-nya menjadi mahmul pada kedua muqaddimah-nya. Misalnya, “Setiap nabi makshum”, dan “Tidak satupun pendosa itu makshum”, maka “Tidak satupun dari nabi pendosa”.
Syarat-syarat syakl kedua: Kedua muqaddimah harus berbeda dalam kualitasnya (kaif, yakni mujabah dan salibah). Muqaddimah kubra harus kulliyah.
3)    Syakl Ketiga, adalah Qiyas yang had awsath-nya menjadi mawdhu’ pada kedua muqaddimahnya. Misalnya, “Setiap nabi makshum”, dan “Sebagian nabi adalah iman”, maka “Sebagian orang makshum adalah iman”.
Syarat-syarat syakl ketiga. Muqaddimah sughra harus mujabah. Salah satu dari kedua muqaddimah harus kulliyyah.
4)    Syakl Keempat, adalah Qiyas yang had aswath-nya menjadi mawdhu’ pada muqaddimah sughra dan menjadi mahmul pada muqaddimah kubra (kebalikan dari msyakl awwal).
Syarat-syarat syakl keempat: Kedua muqaddimah harus mujabah. Muqaddimah sughra harus kulliyyah atau kedua muqaddimahnya harus berbeda kualitasnya (kaif). Salah satu dari keduanya harus kulliyyah.
Catatan menurut para mantiqiyyin, bentuk qiyas iqtirani yang badihi (jelas sekali) adalah yang pertama sedangkan yang kedua dan ketiga membutuhkan pemikiran. Adapun yang keempatsangat sulit diterima oleh pikiran. Oleh karena itu Aristoles sebagai penyusun mantiq yang pertama tidak mencantum bentuk yang keempat.

2.    Qiyas Istitsna’i.
Berbeda dengan qiyas iqtirani, qiyas ini terbentuk dari qadhiyyah syarthiyyah dan qadhiyyah hamliyyah. Misalnya, “Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Oleh karena dia mempunyai mukjizat, berarti dia utusan Allah”. Penjelasannya: “Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat”, adalah adalah qadhiyyah syarthiyyah yang terdiri dari muqaddam dan tali (lihat definisi qadhiyyah syarthiyyah). Dan, “Dia mempunyai mukjizat” adalah qadhiyyah hamliyyah. Sedangkan, “Maka dia mempunyai mukjizat” adalah natijah. Dinamakan ististna’I karena terdapat kata, “tetapi”, atau “oleh karena”. Macam-macam Qiyas Ististna’I (silogisme) ada empat macam qiyas ististna’i: Muqaddam positif dan tali positif. Misalnya, “Jika Muhammad utusan Allah, maka dia mempunyai muljizat. Tetapi Muhammad mempunyai mukjizat berarti. “Dia utusan Allah”.
Muqaddam negative dan tali positif. Misalnya, “Jiak Tuhan itu tidak satu, maka bumi ini akan hancur. Tetapi bumi tidak hancur, berarti Tuhan satu (tidak tidak satu)”. Tali negative dan muqaddam negative. Misalnya, “Jika Muhammad bukan nabi, maka dia tidak mempunyai mukjizat. Tetapi dia mempunyai mukjizat, berarti dia Nabi (bukan bukan Nabi)”. Tali negative dan muqaddam positif . Misalnya, “Jika Fir’aun itu Tuhan, maka dia tidak akan binasa. Tetapi dia binasa, berarti dia itu bukan Tuhan”.
Sesat pikir.
Kekeliruan penalaran yang disebabkan oleh pengambilan kesimpulan yang tidak sahih dengan melanggar ketentuan-ketentuan logika atau sususnan dan penggunaan bahasa serta penekanan kata yang secara sengaja/tidak telah menyebabkan pertautan gagasan yang tidak tepat.
· Sesat pikir karena bahasa yaitu kesalahan yang terjadi karena salah memahami bahasa.
· Sesat pikir formal yaitu terjadi karena pelanggaran terhadap bentuk penalaran formal.
· Sesat pikir material yaitu terjadi karena kesalahan isi penalaran itu sendiri.

Referensi:
1. Makalah Ust. Husein Al-Kaff dalam Kuliah logika, “Pengantar Menuju Filsafat Islam”, di Yayasan Pendidikan Isalam Al-Jawad pada tanggal 25 Oktober- 1 November 1999 M.
2. Lois O. Kattsoff, “Elements of philosophy”, penerbit the rolanld press company New York.
Jan Hendrik Rapar, “Pengantar Logika”, Kanisius Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar